Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, 'Siapakah yg lebih berhak atas seorang wanita?"
Beliau menjawab,'Suaminya.'
Aku bertanya lagi,'Lalu siapa orang yg paling berhak atas seorang lelaki?'
Beliau menjawab,'Ibunya'."
(Riwayat Hakim, vol. 4, hlm. 150 dan 175. Ia berkata,"Hadis ini isnad-nya sahih." Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib, "Hadis ini riwayat al-Bazzar dan Hakim, sementara isnad al-Bazzar adalah hasan," hlm. 53 )
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Seorang wanita di sisi suaminya seperti seorang hamba sahaya dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya tanpa seizinnya, baik itu diperintahkan
oleh ayah-ibunya atau selain keduanya. Ini merupakan kesepakatan para imam mazhab. Apabila seorang lelaki ingin membawanya ke tempat lain dgn tetap melaksanakan kewajibannya sebagai suami, dan menjaga batasan-batasan yg telah ditetapkan oleh Allah berkaitan dengannya, lalu ayahnya melarangnya menaati suaminya dalam hal ini, hendaklah wanita ini menaati suaminya, bukan ayahnya.
Kedua orang tua tidak berhak melarangnya menaati suami seperti ini. Ia juga tidak boleh menaati ibunya yg menyuruhnya membantah dan membangkang terhadap suaminya sebelum ia diceraikan. Misalnya sang ibu minta kepada menantu lelakinya harta & nafkah yg berlebih, pakaian mewah, & mahar yg banyak, agar ia mau menceraikan anak perempuannya.
Dalam kasus seperti ini, tak dibolehkan anak perempuan itu menaati orang tuanya untuk bercerai dgn suaminya, jika sang suami adalah orang yg bertakwa kepada Allah dalam memperlakukannya."
.
Rasulullah bersabda, "Wanita mana saja yg minta cerai dari suaminya tanpa alasan yg kuat, haram baginya wangi surga." (HR Abu Daud, no 2226; Tirmidzi, no. 1187; Ibnu Majah, no. 2055. Hadis ini dinilai sahih oleh al-Allamah al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami', no. 2701.)
(Sumber:http://www.reportaseterkini.net)