Fatwa Syaikh Abdurrahman As Suhaim (Web Al Misykah Al Islamiyyah)
Soal:
Assalamu’alaikum. Apa hukum makan di restoran Jepang atau restoran Cina yang ada di negeri kita ini (negeri mayoritas Muslim)? Padahal kita bersama tahu bahwa asalnya orang Jepang dan orang Cina itu watsaniyyun (penyembah berhala), sedangkan penyembah berhala tidak boleh dimakan sembelihannya. Semoga Allah memberi anda keberkahan wahai Syaikh.
Jawab:
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,
Semoga Allah juga memberikan anda keberkahan.
Jika itu sekedar nama saja, dan mereka sebatas memasak dan menghidangkan(1)*, maka tidak mengapa makan apa yang mereka masak(2)*. Dan juga tidak mengapa menggunakan bejana-bejana orang kafir kecuali jika ada prasangka kuat terdapat najis di sana.
Dalam Shahihain, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam minum dari botol seorang wanita Musyrik. Dan dalam hadits Jabir disebutkan:
كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فنُصيب مِن آنية المشركين وأسْقِيتهم ، فنستمتع بها ، فلا يُعاب علينا
“kami berperang bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan kami mendapatkan bejana serta peralatan minum mereka. Kami pun menggunakannya dan kami tidak dicela atas hal itu” (HR. Ahmad, Abu Daud. dishahihkan Al Albani).
Dalam riwayat lain:
فلا يَعيب ذلك عليهم
“Rasulullah tidak mencela mereka”
Asy Syaukani berkata:
حَدِيثُ جَابِرٍ اسْتَدَلَّ بِهِ مَنْ قَالَ بِطَهَارَةِ الْكَافِرِ ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْجَمَاهِيرِ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ ، كَمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ ؛ لأَنَّ تَقْرِيرَ الْمُسْلِمِينَ عَلَى الاسْتِمْتَاعِ بِآنِيَةِ الْكُفَّارِ مَعَ كَوْنِهَا مَظِنَّةً لِمُلابَسَتِهِمْ وَمَحَلاًّ لِلْمُنْفَصِلِ مِنْ رُطُوبَتِهِمْ مُؤْذِنٌ بِالطَّهَارَةِ
“hadits Jabir ini merupakan dalil tentang status sucinya orang kafir (suci secara inderawi, bukan suci maknawi, red.). Dan inilah madzhab jumhur ulama dari salaf dan khalaf. Karena persetujuan kaum Muslimin atas bolehnya pemakaian bejana orang kafir padahal tentunya bejana-bejana tersebut diperkirakan terkena pakaian mereka dan terdapat bekas dari cairan tubuh mereka, namun bejana tersebut diizinkan untuk dipakai menunjukkan hal tersebut suci”
Sedangkan najisnya orang kafir itu sifatnya maknawi (konotatif). Ibnu Qudamah mengatakan dalam Al Mughni:
و أجاب النبي صلى الله عليه وسلم يهوديا دَعاه إلى خبز وإهالة سنخة ؛ ولأن الكفر مَعنى في قَلبه فلا يؤثر في نجاسة ظاهرة كسائر ما في القلب
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menerima undangan dari orang Yahudi untuk makan roti dan ihalah sunkhah. Karena kenajisan orang kafir itu maknawi yang terletak pada hatinya, tidak membuat lahiriyahnya menjadi najis sebagaimana hatinya”
Adapun jika anda makan di restoran Jepang dan Cina yang ada di negeri mereka, maka hukum memakannya sebagaimana status sembelihan mereka. Dan sembelihanwatsaniy (penyembah berhala) tidak boleh dimakan. Dan yang dibolehkan adalah sebatas jenis makanan yang dibolehkan saja, seperti masakan laut dan sayuran dan sejenisnya(3)*.
Uraian di atas juga berlaku untuk restoran India, jika yang menyembelih adalah orang-orang Hindu atau Sikh.
Wallahu a’lam.
***
Sumber: http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=72194#gsc.tab=0
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
____
(1)* Mereka tidak menyembelih daging. Namun dagingnya berasal dari pasar kaum Muslimin, sehingga sembelihannya dianggap sembelihan kaum Muslimin (red.)
(2)* Terlebih lagi jika restoran Jepang atau Cina sekedar nama saja, namun pegawainya Muslim, maka lebih boleh lagi (red.)
(3)* Ini adalah hukum asal. Hukum asal makanan laut dan makanan non-daging adalah halal, selama tidak tercampur dengan zat yang haram. Jika tercampur zat yang haram maka menjadi haram memakannya. Semisal makanan laut atau nasi atau sayuran yang dalam proses memasaknya dicampur dengan sake (termasuk khamr) atau zat haram lainnya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian restoran Jepang dan Cina, maka tidak diperbolehkan memakannya (red.)