shareinfomanfaat.blogspot.com - Dalam beberapa buku klasik seperti ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain, berbicara atau bersuara pada waktu berhubungan’ merupakan hal yg tidak boleh. Sebagian muslim serta muslimah pula berpegang pada pandangan ini sebagai akibatnya tidak berani bersuara, termasuk mengeluarkan rintihan, saat ber.cinta. Benarkah demikian?
Salim A. Fillah pada bukunya Barakallahu Laka... Bahagianya Merayakan Cinta -tanpa mengurangi penghargaan terhadap Syaikh Muhammad Umar An Nawawi Al Bantani yg sudah menulis kitab tersebut- memaparkan bahwa larangan bersuara dalam saat berhubungan’ ternyata bertentangan dengan riwayat shahih yang mengungkapkan praktik generasi kerabat.
Abd bin Humaid meriwayatkan berdasarkan Ibnu Mundzir sebagaimana dikutip Imam As Suyuthi pada Ad Durrul Mantsur bahwa kerabat sekaligus penulis wahyu yg mulia, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pernah suatu kali berhubungan’ istrinya. Tiba-tiba oleh istri mengeluarkan desahan napas dan rintihan yg penuh gairah sehingga dia sendiri pun menjadi membuat malu pada suaminya. Namun Muawiyah bin Abi Sufyan berkata, “tidak apa-apa, tidak jadi perkara. Benar-benar demi Allah, yang paling menarik pada diri kalian merupakan desahan napas serta rintihan kalian.”
Senada beserta riwayat tadi, faqihnya kerabat, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya mengenai aturan rintihan dan desahan waktu berhubungan’. Ia menjawab, “bila anda berhubungan dengan’ istrimu, berbuatlah sesukamu.”
Demikianlah praktek dan fatwa teman. Ternyata mereka membolehkan rintihan serta desahan waktu ber.cinta. Meski demikian, suami istri perlu memastikan agar bunyi mereka waktu ber.cinta itu tidak sampai terdengar orang lain, termasuk anak-anaknya. [shareinfomanfaat.blogspot.com]