Ibu adalah adalah sosok yang menarik dalam kenasiban.Ibu adalah sosok perempuan tangguh serta tegar ketika badai kenasiban menghempas.
Ibu dengan cara fisik boleh saja adalah sosok yang lemah, tetapi ketika wajib menyelamatkan anak-anaknya, ia dapat berubah menjadi jiwa pemberani serta tegas.
Rela pasang badan tatkala membela anak-anaknya dari ancaman serta bahaya apa pun.
Tak jarang pula tampil menjadi sosok penyelamat keluarga saat sang ayah tengah teperosok dalam krisis kenasibannya.
Tetapi, seiring dengan usianya yang kian mendekati senja, kerut di kening serta di pipinya adalah bukti kelelahan dari pengabdian yang menarik
Tangan yang dulunya halus, kian hari menjadi kasar sebab kerasnya memahat bongkahan batu kenasiban.
Sakitnya melahirkan anak, nyatanya tidak seimbang dengan sakitnya ketika anak yang ia cintai serta lahirkan membentaknya,
Berikut ini kisah yang bakal menyadakan kami bahwa bunda lebih memilih sakitnya melahirkan daripada dibentak buah hatinya semacam dikuti dari Ekabar.org
“Ibu, masakin air bu. Aku mau mandi pakai air hangat,” seoranganak meminta ibunya menyiapkan air hangat untuk mandinya.
Sang bunda dengan ikhlas melaksanakan apa yang diperintah oleh sang anak.
Dengan suara lembut ibunya menyahut, “Iya, tunggu sebentar ya, sayang!”
“Jangan terlalu lama ya Bu! Soalnya saya ada janji sama kawan” ucap sang anak.
Tidak lama kemudian sang bunda telah usai menyiapkan air hangat untuk buah hatinya.
“Nak, air hangatnya telah siap,” bunda itu memberi tahu.
“Lama sekali sih, Bu…” sang anak sedikit membentak.
Seusai berakhir mandi serta berpakaian rapi, sang anakberpamitan terhadap ibunya, “Bu, saya keluar dulu ya, mau jalan-jalan sama kawan.”
“Mau kemana nak?” tanya sang ibu.
“Kan telah aku bilang, saya mau keluar jalan-jalan sama kawan,” kata sang anak sambil mengerutkan dahi.
Malam harinya, sang anak pulang dari jalan-jalan. Sesampainya di rumah ia merasa kesal sebab ibunya tidak ada di rumah.
Padahal perutnya sangat lapar, di meja makan tidak ada makanan apa pun.
Berbagai saat kemudian, ibunya datang sambil mengucapkan salam, “Assalamu’ alaikum.. Nak, kalian telah pulang? Telah dari tadi?”
“Hah, bunda dari mana saja. Saya ini lapar, mau makan tidak ada makanan di meja makan. Sewajibnya kalau bunda mau keluar itu masak dulu…” kata si anak dengan suara sangat lantang.
Sang bunda mencoba membahas sambil memegang tangananaknya, “Begini sayang, kalian jangan marah dulu. Bunda tadi keluar bukan untuk urusan yang tidak penting, kalian belum tahukan kalau istrinya Pak Rahman meninggal?”
“Meninggal? Padahal tidak sakit apa – apa kan, Bu?” sang anaksedikit kaget, nada suaranya juga tidak tinggi lagi.
“Dia meninggal waktu Maghrib tadi. Dirinya meninggal saat melahirkan anaknya. Kalian juga wajib tahu nak, seorang bunda itu bertaruh nyawa saat melahirkan anaknya,” bunda memberbagi penjelasan.
Hati sang anak mulai terketuk, dengan suara lirih ia bertanya pada ibunya, “Itu artinya, bunda saat melahirkanku juga begitu? Ibujuga merasakan sakit yang menarik juga?”
“Iya anakku. Saat itu bunda wajib berjuang menahan rasa sakit yang menarik. Tetapi, ada yang lebih sakit daripada sekadar melahirkanmu, nak,” sang bunda menjawab.
“Apa itu, Bu?” sang anak ingin mengerti apa yang melebihi rasa sakit ibunya saat melahirkan dia.
Sang bunda tidak sanggup menahan air mata yang mengalir dari setiap aspek matanya seraya mengatakan, “Rasa sakit saat bunda melahirkanmu itu tidak seberapa, bila dibandingkan dengan rasa sakit yang bunda rasakan saat dirimu membentak bunda dengan suara lantang, saat kau menyakiti hati ibu, Nak.”
Si anak langsung menangis serta memohon ampun atas apa yang telah dilakukan selagi ini pada ibunya.(tribunnews.com)